Konsep Waktu dan Tempat dalam Peribadatan Umat Islam
Waktu dan Tempat yang Mengikat Ibadah Kita
Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa waktu dan tempat itu bermacam-macam. Lantas waktu dan tempat mana yang mengikat ibadah kita itu?
Apabila kita merujuk kepada dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw., maka diketahui bahwa waktu dan tempat yang mengikat ibadah kita adalah waktu dan tempat di mana kita berada atau Local Mean Time (LMT). Baik posisi kita sedang di tempat tinggal sendiri (Muqim) ataupun sedang berada tempat lain (Musafir). Misalnya waktu shalat kita berpatokan kepada waktu shalat dimana kita berada demikian juga dengan waktu ibadah-ibadah lainnya, sebagaimana contoh berikut ini:
1. Contoh dalil waktu shalat dalam al-Qur’an surat al-Isra (17) ayat 78:
”Dirikanlah shalat sejak Matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat)”.
Bergesernya Matahari dari Meridian atas ke arah Barat (دُلُوْكِ) sebagai tanda masuknya waktu shalat Zhuhur hanya berlaku bagi tempat atau daerah yang mengalami peristiwa tersebut, tidak berlaku umum untuk setiap tempat. Demikian juga orang yang sudah boleh melakukan shalat Zhuhur adalah orang yang berada di tempat tersebut, bukan orang yang berada di tempat lain yang belum mengalami peristiwa duluuk.
2. Contoh dalil waktu dan tempat ibadah puasa terdapat dalam surat al-Baqarah [2] ayat 185:
“... Siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah ...” (Al-Baqarah [2]:185).
Dalam Tafsir Jalalain (1/38) dijelaskan bahwa makna شَهِدَ di sini adalah حَضَرَ artinya tidak sedang bersafar. Ibnu Katsir menerangkan bahwa makna شَهِدَ adalah melihat اِسْتِهْلاَلَ (munculnya hilal) di bulan itu, dan ia orang yang مُقِيْمًا (tidak sedang safar) ketika memasuki bulan itu, dan badannya sehat. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/503).
Menurut ayat di atas, orang yang wajib puasa adalah orang yang muqim atau tidak dalam keadaan safar, sehat badannya dan telah muncul hilal awal Ramadhannya. Kata muqim terkait dengan status tempat seseorang sedangkan munculnya hilal terkait waktu di tempat orang tersebut. Dengan demikian Q.S. Al-Baqarah [2]:185 di atas menjadi dalil tentang waktu dan tempat wajibnya ibadah puasa Ramadhan di lokasi seorang mukallaf berada.
3. Contoh dalil waktu puasa menurut hadis Nabi saw.:
Hadis diterima dari Abu Hurairah ra, ia berkata. Telah bersabda Nabi Saw: “Berpuasalah kalian setelah terlihat hilal dan berlebaranlah kalian setelah terlihat hilal, apabila hilal terhalang maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari).
Pada hadis di atas Rasulullah saw. mengaitkan perintah puasa dengan terlihatnya hilal (bulan sabit), dan hilal tidak bisa terlihat di semua tempat di permukaan Bumi. Hilal hanya bisa terlihat di wilayah yang sudah terbit bulan sabitnya (mathla’) dengan syarat ketinggiannya sudah cukup, kondisi cuaca cerah, Matahari sudah terbenam sempurna, dan ditunjang dengan pengalaman dan alat bantu yang representatif. Di tempat atau daerah itulah bisa dimulai puasa sedangkan tempat atau daerah yang belum terbit hilalnya tidak boleh memulai puasa.
Di antara alasan penulis menolak kriteria KHGT Turki 2016 (Kalender Hijriyah Global Tunggal Turki tahun 2016) karena tidak sejalan dengan prinsip konsep waktu dalam pelaksanaan ibadah umat Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Kriteria KHGT Turki 2016 menentukan bahwa jika hilal sudah memenuhi kriteria ketinggian minimal 5° dan jarak elongasi minimal 8° di belahan Bumi manapun maka tanggal baru bulan Hijriyah ditetapkan dan diberlakukan untuk seluruh dunia meskipun saat itu ada wilayah yang hilalnya masih di bawah ufuk bahkan sekalipun masih belum terjadi ijtima’.
Waktu dan Tempat Mengikat Ibadah
Manusia merupakan makhluk Allah yang terikat oleh ruang dan waktu, maka konsekwensi logisnya semua ibadah yang disyariatkan Allah pasti terikat oleh ruang/tempat dan waktu. Waktu dan tempat yang mengikat ibadah kita adalah waktu dan tempat dimana kita berada. Adapun acuan waktu untuk ibadah kita berpatokan kepada peredaran Matahari dan atau peredaran Bulan.
Syarief Ahmad Hakim, Wakil Ketua Dewan Hisab dan Rukyat PP. PERSIS dan anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI.