Home > Khazanah

Konsep Waktu dan Tempat dalam Peribadatan Umat Islam

konsep waktu dan tempat
 Sumber:
Sumber:

Miqat Makani dan Miqat Zamani merupakan dua istilah yang dikenal dalam ibadah haji dan umrah. Miqat Makani ialah batas geografis atau lokasi tertentu dimana jemaah haji atau umrah harus melakukan niat haji dan atau umrah di tempat tersebut sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah. Setiap daerah atau negara memiliki Miqat Makani yang ditentukan. Misalnya, bagi jamaah yang datang dari arah Timur seperti Indonesia, Miqat Makani mereka adalah Qarnul Manazil.

Sedangkan Miqat Zamani ialah waktu atau periode tertentu dimana pelaksanaan ibadah haji atau umrah dilakukan. Misalnya, ibadah haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah, sedangkan umrah dapat dilakukan pada bulan hijriyah apa saja sepanjang tahun.

Dalam prakteknya ternyata semua ibadah yang disyariatkan Allah dibatasi oleh waktu dan tempat. Baik waktunya tersebut ditentukan secara spesifik atau sembarang waktu. Demikian juga dengan batasan tempat. Adanya istilah Muqim dan Musafir dalam praktek ibadah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara ibadah tersebut dengan tempat.

Pengertian Waktu dan Tempat

Menurut ilmu Fisika, suatu materi yang berwujud fisik seperti manusia akan terikat oleh ruang dan waktu. Ruang merupakan area abstrak di mana objek dan peristiwa terjadi. Dalam fisika, ruang merujuk pada kerangka di mana posisi dan gerakan diukur. Ia mencakup dimensi panjang, lebar dan tinggi (3D). Lokasi atau posisi spesifik dalam ruang disebut dengan tempat.

Waktu ialah suatu dimensi yang mengikat manusia terdiri dari rangkaian saat yang mengiringi setiap peristiwa di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan adanya waktu kita dapat mengukur durasi dan urutan setiap peristiwa yang terjadi.

Manusia merupakan makhluk Allah yang berwujud fisik. Berarti manusia pasti terikat oleh waktu dan tempat. Maka, konsekwensi logisnya setiap ibadah yang disyariatkan oleh Allah kepada umat Islam pasti terikat oleh waktu dan tempat. Misalnya dalam ibadah shalat, kalau kita perhatikan dalam kitab-kitab fikih, sebelum membahas bacaan dan gerakan-gerakan shalat maka akan dibahas terlebih dahulu tentang waktu-waktu shalatnya dan tempat-tempat yang boleh dan tidak boleh shalat di tempat itu.

Acuan Waktu

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan acuan waktu ialah sesuatu yang dijadikan basis atau dasar dalam perhitungan waktu.

Dalam ilmu falak dikenal dua benda langit yang lama peredarannya dijadikan dasar dalam penentuan waktu, yaitu Matahari dan Bulan. Mengapa Allah menjadikan Matahari dan Bulan saja sebagai acuan waktu, tidak dengan benda langit lainnya? Karena kedua benda langit inilah yang paling menonjol ukuran dan cahayanya dibanding benda langit lainnya. Salah satu sebabnya karena jarak kedua benda langit ini relatif dekat dengan Bumi sehingga sifat dan karakter peredarannya mudah diamati dan diketahui.

Apa yang dikenal dalam ilmu Falak ini ternyata sumber informasinya berasal dari ayat Al-Qur’an, di antaranya sebagai berikut:

1. Peredaran Matahari

“Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami). Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang agar kamu (dapat) mencari karunia dari Tuhanmu dan mengetahui bilangan tahun serta perhitungan (waktu). Segala sesuatu telah Kami terangkan secara terperinci.” (QS al-Isrā' [17]:12).

Siang dan malam adalah fenomena yang menggambarkan dua periode waktu yang berlawanan dalam sehari. Keduanya dipengaruhi oleh rotasi Bumi pada porosnya. Siang terjadi ketika suatu wilayah berada di sisi Bumi yang menghadap Matahari, sehingga menerima cahaya Matahari. Ini adalah waktu ketika langit tampak terang dan manusia dapat beraktivitas untuk mencari rezeki. Sedangkan malam terjadi ketika wilayah tersebut berada di sisi Bumi yang tidak mengahadap Matahari, sehingga langit tampak gelap karena tidak ada cahaya Matahari langsung. Waktu tersebut merupakan saat yang baik untuk istirahat (tidur).

Gerak semu harian Matahari dari arah Timur ke arah Barat merupakan akibat dari gerak rotasi Bumi pada porosnya ke arah Timur langit. Lama gerak rotasi sekitar 23 jam 56 menit sehingga menyebabkan Matahari bergerak secara semu ke arah Barat dalam satu lingkaran penuh selama 23 jam 56 menit pula. Lalu pertanyaannya, mengapa dalam satu hari lama waktunya 24 jam? Waktu yang dijadikan patokan manusia dalam kegiatan sehari-harinya adalah berdasarkan gerak semu Matahari, sedangkan Matahari itu memiliki dua gerakan semu, yaitu gerakan semu harian yang ditempuh dalam waktu 23 jam 56 menit, dan gerakan semu tahunan yang ditempuhnya 4 menit per hari. Kedua waktu gerakan inilah yang membulatkan jumlah sehari semalam menjadi 24 jam.

Apabila di suatu tempat (Meridian tertentu) Matahari sedang pas berada di atasnya (kulminasi atas) kemudian Bumi itu berputar (berotasi) ke arah Timur, maka setelah 23 jam 56 menit tempat itu telah berputar sekali putaran penuh (360°), tetapi Matahari belum pas di atas tempat itu lagi, dia masih berada di sebelah Timurnya kira-kira 1°, dan untuk sampai ke kulminasi atas seperti pada waktu kemarinnya, Matahari masih memerlukan waktu 4 menit lagi. Rupanya selama 23 jam 56 menit itu, Matahari telah bergerak semu ke arah Timur langit sebesar 1°, dan sebenarnya gerakan ini sebagai akibat dari gerak revolusi Bumi.

Menurut ayat di atas juga, manfaat lain dari adanya siang dan malam ialah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Tahun adalah periode waktu yang dibutuhkan oleh Bumi untuk menyelesaikan satu orbit penuh mengelilingi Matahari, yang berlangsung sekitar 365,25 hari. Untuk mempermudah pengukuran dan penggunaan waktu, tahun dibagi menjadi 12 bulan, masing-masing berisi beberapa hari dengan jumlah yang bervariasi. Jadi periode tahun merupakan jumlah kumulatif dari hari sebanyak 365 untuk tahun Basithah atau sebanyak 366 untuk tahun Kabisah.

Adapun yang dimaksud untuk mengetahui “perhitungan” ialah bahwa Matahari -demikian juga Bulan- beredar dengan hukum yang pasti. Oleh karena itu siklus posisi tertentu dari Matahari dapat dihitung dan diprediksi dengan tepat. Sehingga bisa dijadikan acuan dalam penentuan waktu demikian juga dalam pembuatan kalender.

Di antara ibadah dalam syariat Islam yang waktunya didasarkan kepada peredaran Matahari adalah shalat wajib yang lima waktu dalam sehari, mulai berhenti makan dan minum untuk memulai puasa, berbuka puasa, dll.

2. Peredaran Bulan

“Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (dhiyaun) dan Bulan bercahaya (nuuran). Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya (manaazila) agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu, kecuali dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada kaum yang mengetahui,” (QS Yūnus [10]: 5).

Dalam ayat ini Allah menggunakan kata yang berbeda untuk menyebutkan cahaya Matahari dan Bulan. Dimana untuk Matahari menggunakan kata ضِيَاۤءً sedangkan untuk Bulan dengan kata نُوْرًا . Hal ini menunjukkan adanya sumber cahaya yang berbeda antara keduanya. Matahari bersinar karena memancarkan cahayanya dari proses reaksi nuklir di dalam intinya atau dengan kata lain cahayanya milik sendiri. Sedangkan Bulan bercahaya karena memantulkan cahaya Matahari, atau dengan kata lain Bulan tidak memiliki cahaya sendiri.

Manaazil adalah bentuk jama’ dari manzilah yang secara bahasa artinya tempat atau posisi. Sedangkan maksud kata Manaazil dalam ayat ini adalah tempat-tempat atau posisi-posisi Bulan dalam bidang orbitnya saat mengelilingi Bumi dengan diiringi perubahan bentuk penampakkannya. Dari mulai bentuk sabit, setengah lingkaran, sampai purnama, kemudian kembali setengah lingkaran dan menjadi sabit lagi, sesuai dengan posisinya (manzilahnya). Keteraturan periode Bulan mengitari Bumi dijadikan sebagai perhitungan waktu bulanan yang lamanya sekitar 29,53 hari. Dua belas bulan setara dengan satu tahun yang lamanya 354 hari untuk tahun Basithah dan 355 hari untuk tahun Kabisah.

Awal bulan Hijriyah ditentukan saat posisi Bulan sedang berada di manzilah yang bisa terlihat pertama kali pasca ijtima’ yang disebut dengan istilah hilal.

Dengan adanya keteraturan manzilah-manzilah Bulan maka posisi hilal awal bulan akan bisa dihitung sehingga bisa dijadikan acuan waktu ibadah dan pembuatan kalender Hijriyah.

Adapun ibadah yang waktunya berpatokan kepada peredaran Bulan saat mengelilingi Bumi di antaranya memulai hari pertama puasa Ramadhan serta mengakhirinya, puasa sunah yang terkait dengan tanggal dalam kalender Hijriyah seperti puasa Arafah, Tasu’a-Asyura, pelaksanaan ibadah haji, dll.

3. Peredaran Matahari dan Bulan

“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun,” (QS al-Kahf [18]:25).

Ayat ini menginformasikan tentang pemuda Ashhabul Kahfi yang “ditidurkan” Allah selama 300 tahun dan ditambah 9 tahun, maksudnya 309 tahun. Mengapa Allah tidak langsung menyebutkan 309 tahun tapi 300 tahun ditambah 9 tahun. Tujuannya untuk menginformasikan tentang adanya dua entitas waktu yang berbeda, yang digunakan orang saat itu, yaitu tahun Matahari dan tahun Bulan. Dimana 300 menunjukkan durasi tahun Matahari dan 309 menunjukkan durasi tahun Bulan. Karena setelah diteliti, terbukti lama 300 tahun menurut kalender Matahari (peredaran Matahari/Syamsiyah) sama dengan lamanya 309 tahun menurut kalender Bulan (peredaran Bulan/Qamariyah). Dengan perhitungan sebagai berikut:

 Sumber:
Sumber:

Ibadah yang waktu pelaksanaan didasarkan kepada peredaran Matahari dan Bulan adalah seperti wukuf, melempar jumrah, dll. Misalnya aktivitas wukuf dimulai dari waktu Zhuhur sampai Maghrib adalah berdasarkan peredaran Matahari, sedangkan terkait pelaksanaan wukuf-nya pada hari ke sembilan (tanggal 9) Dzulhijjah adalah berdasarkan peredaran Bulan.

× Image