Tanbihul Ghafilin, Butiran Nasihat untuk Menjadi Pengingat
Kebebasan memilih. Inilah keistimewaan manusia dibanding makhluk Allah lainnya. Malaikat telah Allah takdirkan untuk menjadi makhluk yang selalu taat. Wajar bila ia selalu tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Sebaliknya setan sepanjang hidupnya hingga Hari Kiamat akan selalu melakukan maksiat. Bahkan, ia mengajak dan menggoda makhluk lain untuk mengikuti jalannya. Berbeda dengan menusia. Bisa menjadi taat, atau berperilaku maksiat. Hari ini banyak melakukan kebaikan, besok malah mengerjakan keburukan.
Melalui Nabi-Nya Allah menjelasakan tentang jalan taqwa (kebaikan) dan jalan fujuur (kemunkaran). Fujuur terlarang, takwa sangat dianjurkan. Takwa mendatangkan kebaikan, sementara fujuur berakibat keburukan. Masing-masing jalan ada konsekuensinya. Manusia diberi kebebasan untuk memilih dari kedua jalan tersebut. Pada saat yang sama, manusia harus siap menanggung akibat dari pilihannya.
Semua manusia berharap bisa hidup dengan baik, bahagia, tenang, dan tentram. Namun, terkadang manusia lupa akan harapannya. Lalai akan kewajibannya. Berharap hidup bahagia, tetapi jalan yang ditempuh menuju sengsara. Ingin hidup tenang, namun memilih jalan terlarang, Seringkali manusia lebih memilih jalan nafsu yang lebih banyak membawanya pada kemunkaran. Betapa banyak insan di muka bumi ini yang lalai terhadap tugas dan tujuan hidup sesungguhnya. Betapa banyak orang yang terjerumus ke dalam kesesatan yang nyata.
Buku Tanbihul Ghafilin karya Imam As-Samarqandi mengandung butiran-butiran nasihat yang bisa menjadi pengingat bagi siapa pun untuk selalu memilih dan berada di jalan taqwa. Buku yang berisi ajaran-ajaran tasawuf dan sangat populer di kalangan pesantren di Indonesia ini bisa menjadi bekal mendalam untuk mengobati kehampaan jiwa dan moral manusia. Sehingga mereka terlepas dari kelalaian untuk kembali memaknai hakikat kehidupan yang sesunngguhnya.
Ada Tahqiq Sayyid Al’Arabi
Tanbihul Ghafilin merupakan kitab klasik yang ditulis oleh Abu Laits As-Samarqandi, seorang ulama besar dari abad ke-4 Hijriyah. Karena kepopulerannya dan kandungan isinya, buku ini sudah banyak diterjemahkan. Khusus untuk yang diterbitkan oleh Republika Penerbit dalam dua jilid ini sudah ditahqiq oleh Sayyid Al-‘Arabi. Sehingga ada keterangan yang menjelaskan kedudukan hadis yang digunakan oleh As-Samarqandi apakah shahih, dhaif, atau maudhu.
Ini menjadi jawaban atas kritik para ulama terhadap karya As-Samarqandi yang tidak memedulikan status hadis. As-Samarqandi dianggap lebih fokus kepada hikmah atau pesan dari satu hadis tanpa melihat statusnya. Tentu saja, dengan keberadaan tahqiq pembaca menjadi tahu status dari setiap dalil yang digunakan dengan tanpa mengurangi nilai nasihat-nasihatnya.
Abu Laits As-Samarqandi adalah seorang ulama besar yang lahir pada 306 H dan wafat pada 373 H. Berasal dari kota Samarqand, salah satu kota ilmu dan peradaban di Asia Tengah. Abu Laits dikenal sebagai seorang ahli fiqih, tafsir, hadits, tasawuf, dan bahasa Arab.
Pengingat untuk Selalu Taat
Buku yang dalam edisi terjemahan Indonesia terbit dalam 2 jilid ini banyak tersebar di kalangan masyarakat luas dan menjadi bahan renungan, motivasi, dan nasehat. Sementara bagi para santri, buku ini menjadi sumber referensi untuk mendalami akhlak mulia serta menjauhi perbuatan-perbuatan tercela. Keterangannya tidak terlalu rumit dan banyak disajikan dalam bentuk pointer sehingga mudah untuk diingat atau disampaikan ulang kepada orang lain.
Dalam pembahasan tentang ikhlas As-Samarqandi mengutip seorang ahli hikmah yang mengumpamakan orang yang berperilaku riya (kebalikan dari ikhlas) seperti orang yang pergi ke pasar dengan saku penuh batu. Orang yang melihatnya akan mengira bahwa ia akan belanja banyak karena sakunya terlihat penuh. Padahal ia tidak bisa mengambil manfaat sedikit pun dari isi sakunya. Batu-batu sama sekali tidak bisa digunakan untuk membeli apa pun. Begitupun dengan orang yang berbuat karena riya (ingin dilihat), ia tidak akan mendapatkan manfaat dari perbuatannya kecuali puja dan puji orang. Sementara di akhirat kelak sama sekali tidak mendapat pahala.
Pada bagian lain, Abu Laits memberi nasihat tentang 7 hal apabila tidak diringi 7 hal lain, maka perbuatannya tidak akan mendatangkan manfaat. Salah satunya, seseorang yang beramal dengan susah payah tetapi tanpa keikhlasan. Walaupun ia sudah bersungguh-sungguh melakukan ketaatan, tetapi tidak dilakukan dengan keikhlasan, maka ia tidak mendapat manfaat dari amal yang ia kerjakan.
Masih banyak nasihat-nasihat lain yang bisa kita temukan di buku Tanbihul Ghafilin. Sangat tepat untuk menjadi pijakan dan tuntunan dalam memilih jalan. Sehingga kita bisa selalu cenderung pada kebaikan dan ketaatan. Kita senantiasa ikuti jalan malaikat dan hindari pilihan setan