Home > Resensi

Buya dan Masa kecil yang Tidak Sempurna

Resensi novel Setangkai Pena di Taman Pujangga

Kita mengenal sosok Buya Hamka sebagai sosok yang serba bisa. Ia menulis buku agama, menjadi jurnalis yang meliput berita, juga menerbitkan karya sastra yang dibaca masyarakat luas. Kiprahnya di bidang politik, perjuangan kemerdekaan, dan organisasi keagamaan juga tak bisa dipandang sebelah mata. Karena usaha beliaulah organisasi Muhammadiyah cabang daerah yang dipimpinnya saat itu tetap hidup, meski di bawah tekanan Jepang.

Dan kita akan semakin terkagum-kagum saat tahu bagaimana latar belakang pendidikan sosok yang bernama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah ini. Ia hanya sekolah formal hingga kelas 2 SD, dan sisanya ia belajar sekolah agama yang lebih fokus pada kitab-kitab berbahasa Arab. Meskipun begitu, kita akan tahu dari berbagai tulisan Buya Hamka yang kini telah dipublikasikan kembali sebagai buku, bahwa pengetahuan ulama ini tidak terbatas pada persoalan agama saja. Pengetahuan tentang filmnya luas, begitu pula tentang sastra dan filsafat. Tak salah bila banyak orang yang bilang bahwa penulis yang baik sebelumnya adalah pembaca yang baik pula, karena hal ini tercermin jelas pada pribadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).

Namun siapa yang sangka bahwa di balik kesuksesan sosok ini, ada masa kecil yang tidak mulus dan bahagia semata. Kedua orangtua Malik (nama panggilan Buya Hamka ketika kecil), berpisah ketika tokoh ini baru berusia 12 tahun. Kedua orangtua Malik, Haji Rasul dan Shafiah, menikah setelah istri pertama Haji Rasul meninggal karena suatu penyakit. Shafiah adalah adik dari almarhum istrinya itu. Dan Malik adalah anak pertama dari empat anak dari pasangan Haji Rasul dan Shafiah.

Setelah berpisah, Shafiah menikah dengan seorang saudagar yang tinggal di Deli. Sejak itu pun kenakalan Malik, yang memang sudah menjadi buah bibir di lingkungannya, semakin menjadi-jadi. Dari situasi ini pun terungkap, betapa hancur hati Malik ketika kedua orangtuanya bercerai dan betapa miripnya kenakalannya ini dengan sang ayah saat kecil.

Meski memiliki ayah yang merupakan ulama terkenal dengan lingkungan yang menekankan pentingnya pengetahuan agama, masa kecil Buya Hamka tak terbebas dari kesulitan hidup layaknya anak-anak lainnya. Kisah keluarga yang tak mulus, kisah cinta yang memuat malu, hingga kenakalan yang membuat orang sekitarnya habis kesabaran.

Semua kisah yang dituliskan oleh Akmal Nasery Basral di buku pertama dwilogi kisah Buya Hamka ini begitu penuh dengan informasi dan makna, dengan penceritaan yang sangat memikat. Buku pertama yang berfokus pada kisah Buya di pertengahan pertama hidupnya ini memberi kita latar belakang dan perkembangan ilmu serta kepibadian Buya, hingga sosok ini menjadi tokoh yang besar saat ia dewasa.

× Image